Rabu, 20 Juli 2016
Pojok Humor
Nanya Tukang Ojek
Gemintang.com – Seorang
pemuda dengan kulit kecoklatan, badan tinggi dan rambut cepak,
menghampiri Pak Bahrudin, seorang tukang ojek yang saat itu sedang
mangkal di bawah pohon jambu menanti penumpang. Begitu pemuda tersebut
datang, Pak Bahrudin langsung menawarkan tumpangan ojek. Tapi bukannya
mendapat penumpang, pak Bahrudin justru terlibat percakapan yang rumit
dengan orang tersebut.
Pemuda : Permisi pak. Mau nanya, kalau ongkos ke pasar yang di seberang komplek berapa, ya?
Pak Bahrudin : Sepuluh ribu, mas. Gak dimahalin, kok.
Pemuda : Kalau minimarket yang deket pertigaan itu berapa?
Pak Bahrudin : Lima belas ribu aja.
Pemuda : Kalau ke stasiun kereta yang dekat sama daerah sini, berapa?
Pak Bahrudin : Dua puluh lima ribu.
Pemuda : Kalau mall yang ada di ujung jalan ini, berapa ya?
Pak Bahrudin mulai diam. Ia merasa bosan
ditanya terus menerus mengenai harga namun pemuda tersebut tak kunjung
menyewa ojeknya. Pak Bahrudin pun memasang tampang tak enak dan mulai
mengabaikannya. Dan ketika pemuda tersebut bertanya kembali, pak
Bahrudin mengajukan pertanyaan balik pada pemuda tersebut.
Pak Bahrudin : Kenapa mas nanya-nanya terus tapi gak sewa ojek saya?
Pemuda : Soalnya saya mau ngojek di sini juga, pak.
Pak Bahrudin : ……… !@#$%^&*?{\
Cerita Tukang Ojek
Mengenai Service Excellence & Consumer Satisfaction.
Musim hujan! Seperti
biasa jalanan macet. Banyak genangan air dan jika hujan lebih deras
lagi, banjirpun datang. Itulah pemandangan Jakarta
dan sekitarnya. Saya memandang dari balik jendela, seorang tukang ojek
berteduh di pinggir jalan di bawah atap warung yang sedang tutup. Hingga
saat ini, banjir belum melanda. Namun tak urung juga mengingatkan saya
kembali akan kejadian yang silam.
Suatu sore, setahun
yang lalu di musim hujan yang sama. Saya berniat pulang kantor lebih
cepat dari biasanya. Tepat pukul 5 sore, saya buru-buru turun ke lobby.
Memanggil penjemput saya lewat car call. Namun apes, penjemput saya
rupanya sudah 2 jam terjebak macet di daerah Simprug. Wah! Kalau begitu,
bisa-bisa ia baru sampai di Kuningan lewat tengah malam.
Saya telpon suami saya
barangkali ia bisa menjemput. Jarak kantornya lebih dekat, dibanding
jika saya harus menunggu penjemput saya datang. Namun kemacetan parah
justru terjadi di Rasuna Said. Suami saya tidak mungkin bisa masuk
Kuningan dalam keadaan begini. Akhirnya saya memutuskan untuk naik ojek
saja. Ia menunggu saya di ujung Jalan Tendean sekitar setengah jam lagi.
Sementara itu saya minta penjemput saya untuk pulang saja.
Sore yang sangat gelap.
Mendung yang murung menggantung di langit. Gerimis tersisa satu-satu.
Sayapun pergi ke jalan. Satu-satunya tukang ojek yang ada di situ
menyambut saya dengan senyum. Saya menjelaskan tujuan saya dan sepakat
akan harga yang ia tawarkan. Karena Rasuna Said sangat macet, kami
mengambil jalan belakang lewat jalan Denpasar. Macet juga. Walau naik
motor, tetap saja lajunya pelan. Hampir satu jam hanya untuk mencapai
depan Kedubes Chili. Setelah itu, ternyata banyak kendaraan berbalik
arah. Ada apa? Rupanya kemacetan semakin diperparah oleh banjir.
Setinggi pinggul orang dewasa di dekat Kedubes Austria, hingga di depan
Gedung Kartini. Waduh!. Tukang ojekpun mengajak saya untuk ikut berbalik
arah juga. Berputar melalui Jl Prof Satrio, lalu ke Mega Kuningan dan
keluar di Gatot Subroto.
Karena macet yang
semakin parah, upaya memutar inipun menghabiskan waktu lebih dari sejam.
Tiba-tiba hujan turun lagi dengan derasnya. Tukang ojek berhenti di
bawah pohon di pinggir jalan. Ia mengambil jas hujan dari bagasi dan
menyodorkannya kepada saya. “Ibu pakai saja yang ini” Katanya. “Untuk Bapak apa?” tanya saya. “Cuma satu, Bu. Ibu saja yang pakai. Saya cukup pakai ini saja” Katanya sambil menunjukkan jacket yang telah dipakainya. Saya jadi merasa tidak enak “Saya nggak apa-apa. Bapak saja yang pakai”
Saran saya mengingat ia yang mengendarai motor dan berada di depan.
Tentu butir hujan akan lebih parah menerpa tubuhnya. Saya sendiri bisa
berlindung di balik tubuh bapak itu – pikir saya dalam hati. Namun ia
tetap menolak. Tanpa banyak berkata-kata lagi saya pakai jas hujan
itu. Lalu kamipun bergerak kembali. Tak ada gunanya menunda perjalanan
karena kami tak tahu kapan hujan ini akan berakhir. Saat itu, jam di
pergelangan tangan saya menunjukkan pukul delapan malam. Rupanya saya
telah ada di kemacetan selama 3 jam tanpa sadar.
Hujan turun semakin
lama semakin deras. Butirannya semakin besar menetes di jas hujan yang
saya pakai. Sebagian menetes dan mengalir ke badan saya melalui pipi
saya yang basah. Dingin menggigit tulang. Saya menggigil di atas sepeda
motor yang berusaha melaju dengan susah payah. Walau dengan jas hujan,
tetap saja tubuh saya basah. Malam terasa panjang. Merayap dalam
kebisingan asap knalpot.
Pukul sembilan malam,
akhirnya kami berhasil keluar ke Gatot Subroto. Genangan air semakin
meningkat. Banjir mencapai ketinggian lutut orang dewasa. Tampak asap
yang mengepul keluar dari knalpot motor ditimpa sorot lampu pengendara
motor yang lain. Di telinga saya suara motor menderu dengan aneh &
sumbang. Sungguh berat dan melelahkan bagi motor itu, jika harus
berjuang menyeberangi genangan air yang panjang mirip sungai di tengah
Jakarta ini.
Sekarang lalu lintas
seolah terkunci di tempat. Stuck! Sedikitpun tidak bisa bergerak. Saya
terpaku mirip patung di atas sadle di belakang sang tukang ojek. Didepan
kanan saya sebuah Bajaj menyemprotkan gas pembuangannya persis ke wajah
saya. Saya berusaha menahan nafas saya, untuk mengurangi polusi yang
masuk. Tidak tahan,saya lempar wajah saya ke kiri. Namun nasib saya
tidak lebih baik juga. Di depan kiri saya asap pembuangan dari knalpot
sebuah sepeda motor yang digas berkali-kali oleh pengendaranya gantian
menyemprot ke arah hidung saya. Saya terbatuk-batuk menahan nafas. Tak
ada lagi tempat persembunyian bagi hidung saya kali ini. Inilah
Jakarta! Welcome, Bung! Dan saya hidup di dalamnya. Saya benafas di
dalam polusinya.
Pukul sepuluh malam
kami memasuki jalan Kapten Tendean. Sungguh malam yang sangat gila.
Sepeda motor bergerak sangat lambat. Jalanan terang benderang oleh
ratusan atau mungkin ribuan lampu sepeda motor, mobil dan bajaj yang
parkir kelelahan di jalanan. Setengah terendam. Orang-orang berhenti dan
merokok. Menyemburkan asap nikotin sekuatnya ke udara. Baru kali ini
saya tahu akan kemacetan super yang dimiliki Jakarta. Bahkan sebuah
sepeda motorpun tak mampu lolos darinya. What a story!
Setelah hampir setengah
dari jalan Kapten Tendean berhasil kami lewati, tersebar berita bahwa
di depan kami banjir besar menutup jalan itu. Tidak bisa dilewati. Air
kali meluap tinggi menggenangi jalan hingga setinggi kepala orang
dewasa. Saat itu sudah pukul setengah dua belas malam. Sesungguhnya
ujung Jalan Tendean tinggal sedikit lagi. Namun banjir tidak
memungkinkan saya untuk menyeberangi aliran sungai itu. Saat memikirkan
itu, suami saya menelpon. Mengatakan ia terkena macet parah sehingga
tidak bisa mencapai ujung Jalan Tendean. Akhirnya ia memutuskan untuk
kembali dan menunggu saya di kantornya di Dharmawangsa. Huwaaa!!
Sedihnya!
Saya menceritakan hal
itu kepada tukang ojek yang tampak kelelahan. Namun tanpa diduga ia
menawarkan untuk tetap mengantar saya ke Dharmawangsa. Tujuan yang
berbeda dan lebih jauh dari kesepakatan awal. Hujan mulai reda, namun
menyisakan kemacetan yang tak terperikan. Namun arah sebaliknya, jalanan
terlihat agak lebih lengang karena melawan arus. Ia menyarankan kami
untuk berbalik arah dan memutar kembali lewat gatot Subroto. Saya
setuju dan merasa sangat berterimakasih atas kebaikan tukang ojek itu.
Namun baru beberapa meter, tiba-tiba motor kami ngadat dan tidak bisa
dihidupkan kembali. Bensinnya habis! Benar-benar habis, bis, bis! Ya
ampuunn!. Untunglah di jalur itu ada sebuah pompa bensin. Namun kami
harus berjalan kaki ke sana. Tukang ojek berjalan menuntun motornya.
Sementara saya mengikutinya dari belakang dengan langkah pedih karena
harus berjalan dengan sepatu kantor yang berhak 5 cm. Ouchh!! Masih
untung bukan 7 cm.
Setelah mengisi bensin
secukupnya, kami melanjutkan kembali perjalanan. Perjalanan yang
panjang melewati Kompleks Menteri dan seterusnya. Gerimis dan hujan
deras turun lagi. Syukurnya di jalur ini, kemacetan tidak terlalu
parah. Genangan airpun tidak terlalu banyak. Setidaknya pengendara motor
masih bisa melaju. Akhirnya pukul satu malam , sampailah saya di
kantor suami saya.
Saya mengucapkan
terimakasih sebanyak-banyaknya ke tukang ojek. Sangat terkesan dan
terharu akan kesetiaannya kepada saya, pengguna jasanya. Tukang ojek
yang tak pernah saya kenal sebelumnya. Ia memberikan saya penawaran
harga yang masuk akal, bahkan rendah. Ia juga memberikan saya jas
hujannya untuk saya pakai, sementara ia sendiri mengorbankan dirinya
tidak terlindungi. Ia mengantarkan saya tanpa mengeluh, walaupun
memakan waktu yang luar biasa panjangnya. Dari pukul 5 sore hingga pukul
satu malam. Ia pun meladeni perubahan tujuan saya tanpa mengeluh.
Service Excellence!. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi pada diri
saya di kekisruhan malam itu jika tidak bersamanya.
Mengingat apa yang
telah ia lakukan kepada saya dan jam kerja yang panjang untuk mengantar
saya sampai di tujuan dengan selamat, akhirnya saya memutuskan
membayarnya beberapa kali lipat lebih dari harga yang telah kami sepakati.Plus
pengganti harga bensin yang ia beli malam itu. Tukang ojek itu sangat
girang dan mengucapkan terimakasih berkali-kali kepada saya.
Jika ada award untuk
“Consumer Satisfaction” malam itu, sudah pasti akan saya berikan kepada
tukang ojek ini. Seorang penjual jasa, yang memperlakukan pelanggannya
dengan cara yang sangat baik dan tulus. Banyak training dan seminar yang
dilakukan di hotel-hotel berbintang lima bagi para pemasar untuk
belajar mengenai Service Excellence dan Customer/Consumer Satisfaction
ini dengan biaya jutaan rupiah. Namun Tukang Ojek ini telah memberikan
saya training gratis tentang makna dari Service Excellence &
Kepuasan Pelanggan. Sungguh saya berhutang budi kepadanya.
Langganan:
Postingan (Atom)